Label

Jumat, 11 Mei 2012

MISI KEMANUSIAAN AGUNG ITU BERNAMA PERNIKAHAN


 
Iffah, salah seorang teman baik saya, menitikkan air mata ketika menyimak petuah-petuah Ilahi yang dikhutbahkan seorang ustadz. Hari itu ia tengah menghadapi detik-detik bersejarah: ia segera disunting seorang pria pilihannya. "Jadi misi besar pernikahan itu hakikatnya secara garis besar ada dua. Pertama, memperbanyak keturunan atau regenerasi agar manusia secara besama-sama mampu mengelola bumi sebagai nikmat besar yang diwariskan Allah SWT kepada manusia. Yang kedua, misi pemeliharaan bumi dari tangan-tangan kotor para kaum pendosa yang akan merusak warisanNya tersebut," petuah sang Ustadz sembari ia mengutip surat Annisa ayat satu.


Karena itu, lanjut sang Ustadz, regenerasi yang diinginkan Al Quran, bukanlah sekadar berorientasi pada kuantitas. Tapi juga kualitas, yakni lahirnya generasi-generasi taqwa. "Sebab, upaya-upaya manusia mengeksploitasi bumi tidaklah akan memberikan kemanfaatan bagi sesama makhluk Allah, kecuali tugas itu diserahkan orang-orang beriman, yakni para generasi yang sholeh," serunya.


Boleh jadi sedikit sekali yang mau menyelami hakikat misi agung yang ada di balik pernikahan. Misi mengelola dan memelihara bumi sekaligus yang dipikulkan di atas pundak manusia, sebagaimana yang dikhutbahkan sang Ustadz di atas, ternyata berkaitan erat dengan misi pernikahan.

Dalam pandangan masyarakat modern, pernikahan mungkin dipandang tak lebih sebuah seremonial formal yang menandai berakhirnya masa lajang seseorang. Atau lebih dari itu, pernikahan dianggap sebagai institusi di mana dua insan berlainan jenis dinyatakan sah hidup bersama di dalamnya. Bercumbu, memadu kasih, mengumpulkan harta, dan melakukan aktivitas apa saja, sembari menyiapkan masa depan bagi anak-anak dan keturunan mereka. Sahkah asumsi itu? Tentu, sah-sah saja bila ada yang berpandangan demikian.


Cetusan syahwat (nafsu) itu memang diakui oleh Al Qur'anul Karim. "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (syurga)." (QS 3 : 14).


Betul, siapa yang bisa menafikan betapa indahnya pernikahan? Mendapat suami atau istri yang ganteng/cantik, pintar, serta berharta? Tentu ini menjadi dambaan setiap manusia. Apalagi bila sebuah keluarga dikarunia Allah keturunan yang ganteng/cantik serta mampu jadi orang terpandang pada masa dewasanya. Pasti akan jadi kebanggaan setiap orang tua.
Tapi jika hanya sebatas itu pemahaman kita tentang misi pernikahan, tentu tak sempurna. Sebab dikhawatirkan institusi keluarga hanya berorientasi pada pemberdayaan anggota keluarga sendiri tanpa peduli pada keadaan sosial masyarakat sekelilingnya. Antara satu keluarga dengan keluarga yang lain tak memiliki aksi dan misi bersama. Sebaliknya, mereka hidup nafsi-nafsi bahkan saling adu gengsi untuk bisa mempertontonkan apa-apa yang bisa dibanggakan. Entah dari harta yang dimiliki, atau keturunan.


Inilah kehidupan egoistik dan individualistik yang sangat mungkin lahir dari paradigma pernikahan yang tak sempurna. Hubungan antar anggota masyarakat pun boleh jadi hanya basa-basi. Lewat klub-klub olahraga, klub makan-siang, klub fitness, klub fans artis idola, arisan, dan lain sebagainya yang kering dari misi sosial. Kehangatan dan keakraban yang tulus pun tak tumbuh. Lantaran semua interaksi itu tidak didasari visi dan misi untuk kebaikan bersama. Tapi tak lebih sekadar adu gengsi: pamer harta, pangkat, kekuasaan dan jabatan.

Mungkin keadaan demikian yang disinyalir Al Quran Suci, bahwa kelak manusia akan berlomba-lomba saling adu gengsi.


"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu. Kelak kamu akan mengetahui (akibat) perbuatanmu itu. Dan janganlah begitu. Kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu. Jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka jahannam. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. Dan kemudian kamu pasti akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu bermegah-megahan dengannya ketika di dunia)" (QS 102 : 1-8).

Al Quran tak menafikan, pernikahan adalah institusi robbani yang memang disediakan bagi dua insan berlainan jenis untuk menyalurkan hasrat cinta dan kasih sayang antar sesama. Agar rumah tangga yang dibentuk itu menjadi terminal yang aman dan nyaman serta memberi ketenangan lahir-batin bagi seluruh anggota keluarga (QS 30:21). Tapi bukan semata-mata itu tujuan pernikahan. Itu adalah misi antara.


Lebih dari itu, sebuah keluarga yang akan dibangun haruslah dicita-citakan untuk tujuan yang lebih makro. Sebagai pabrik yang akan memproduk generasi saleh. Agar mereka menjadi pengelola dan sekaligus penjaga warisan Allah, yakni bumi yang amat luar biasa kandungan kekayaannya. Itulah misi pertama dan utama bangunan pernikahan. Tak pelak bila Allah menyebut pernikahan sebagai perjanjian agung (miitsaqon goliidzho) sebagaimana termaktub di dalam KitabNya surat Annisa ayat 21.

Sehingga pernikahan haruslah merupakan jembatan pertama bagi para anggota keluarga mengenali lingkungan sosialnya. Lalu berinteraksi dengan masyarakat lingkungannya, untuk selanjutnya bekerjasama dalam kebaikan. Antar keluarga di dalam sebuah masyarakat, seyogyanya memiliki misi yang sama untuk mencapai kebaikan bersama. Karena itu, keluarga satu dengan lainnya di mana pun mereka berdominisili, haruslah memiliki link-link yang kokoh dalam kerangka menata kehidupan sosial masyarakat lingkungannya.

Sebagai konsekuensi dari adanya kepentingan yang sama untuk mencapai kemashlatan bersama itu, maka setiap penyimpangan yang dilakukan oleh anggota keluarga siapapun, semua keluarga ikut bertanggungjawab mencarikan solusinya. Agar keseimbangan dan keharmonisan kehidupan sosial dapat terus dipelihara dan dipertahankan. Bila kesadaran bersama ini tumbuh kokoh, sangat kecil kemungkinan timbul disharmoni hubungan masyarakat.


Wajar bila Islam memandang, bahwa keluarga adalah ibu peradaban. Darinyalah lahir masyarakat, budaya, dan peradaban. Bagaimana wajah sosial, budaya, dan peradaban sebuah komunitas atau bangsa, sesungguhnya merupakan cerminan pemahaman masyarakat itu tentang keluarga.

Betapa sentral dan mendasarnya peran sebuah keluarga, menjadi alasan kenapa Islam mengarahkan setiap pemeluknya berhati-hati dalam mencari pasangan. Diharamkan seorang mukmin atau mukminat menikah dengan atau dinikahi orang-orang musyrik. Karena pernikahan bukan sekadar pertemuan dua jasad, dua hati, dan dua pemikiran. Tapi pernikahan hakikatnya, peristiwa berlangsungnya koalisi dua kekuatan iman untuk mencapai cita-cita agung.


Karena itu Rasul mulia berpesan, "Wanita itu dinikahi atas 4 hal. Karena hartanya, karena kecantikannya, karena keturunannya, dan karena diennya. Maka ambillah wanita yang baik diennya. Pasti engkau akan beruntung."

Tak berlebihan jika Fathi Yakan menyatakan dalam salah satu bukunya, "Jika kehidupan suatu masyarakat carut-marut, pastilah sumber permasalahannya adalah keluarga."

Boleh jadi kenapa Iffah kawan saya menitikkan air mata. Mungkin ia baru menyadari bahwa pernikahan bukanlah sekadar hiasan kosmetik kehidupan. Namun betapa agungnya misi yang diembannya. Walau itu tentunya berat. Tapi sekali lagi, jangan takut menikah bagi mereka yang belum menikah. Wallahu a'lam bish showab. (stn)




Kamis, 16 Februari 2012

Etika Bergaul Seorang Muslimah


Bukan dari tulang ubun ia diciptakan sehingga lupa akan pujian, bukan juga dari tulang kaki karena khawatir akan diinjak dan direndahkan. Melainkan ia diciptakan dari tulang rusuk, dekat dengan dada untuk dilindungi dan dekat dengan hati untuk dicintai.
Akhwat beda dengan ikhwan. Dalam menjalankan aktivitas pun sangat berbeda. Tapi hukum syara’ memandang sejajar antara ikhwan dan akhwat. "Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan," (QS Al Isra ; 70)
Karena saya akhwat, pastinya saya akan membahas aktivitas akhwat batasannya seperti apa saja. Kadang, jika saya melihat dan menilai, secara tidak sengaja telah terjadi pelanggaran hukum syara'. Biasanya, di kalangan akhwat terjadi pelanggaran hukum syara’ dalam konteks ijtima’l atau pergaualan dengan lawan jenis. karena mereka belum memahami aktivitas mana saja yang termasuk hayatul khas dan hayatul ‘aam. Di kalangan ikhwan pun terkadang ada pelanggaran hukum syara’ karena sikap yang kurang tegas dan kurang mengetahui batasan aktivitas akhwat itu seperti apa saja, dalam konteks hubungan demi maslahat masing-masing yang sesuai dengan hukum syara’ dan selanjutnya karena godaan Syetan..
Apa yang akan saya paparkan adalah aktivitas akhwat dalam konteks hubungan interpersonal dengan ikhwan / ijtima’I:
1.Hayatul ‘Aam
Hayatul ‘aam atau kehidupan umum bagi akhwat adalah seputar kehidupan yang menyangkut perkara pendidikan, mu’amalah, kesehatan. Hayatul ‘aam, bagi akhwat, maknanya bahwa ia boleh bercerita tentang ketiga perkara tadi, selebihnya tidak boleh karena sudah menyangkut hayatul khas..
Bagi ikhwan manapun hanya cukup untuk mengetahui ”hayatul ’aam” kehidupan umum-nya saja, seperti contoh diatas ; pendidikan, tempat tinggal, hobi, aktivitas di lembaga dll. Sedangkan hayatul khas, sudah sangat privasi sekali yang menyangkut kehidupan pribadi (keadaan keluarga, keadaan dirinya) di luar itu konteksnya sudah hayatul khas.
Bagi akhwat tidak boleh menceritakan hal-hal pribadi pada ajnaby (orang asing). Akhwat boleh menceritakan hal-hal terkait pribadinya jika ia telah dikhitbah untuk lanjut ke jenjang pernikahan.
Dan ketika berinteraksi dengan lawan jenis akhwat diharapkan bertindak dan berbicara seperlunya saja, tegas dan jelas. Dalam aktivitas yang berkaitan dengan lawan jenis, seorang akhwat seringkali mudah melakukan pelanggaran. Mungkin karena secara psikologis akhwat memiliki karater ingin diperhatikan atau malah kadang cari perhatian agar bisa berinteraksi dengan lawan jenis, apalagi kalau sudah menyangkut "masalah hati."
Tapi berinteraksi dengan ikhwan dalam konteks mendiskusikan ilmu, menurut saya ini dibolehkan, tapi, ada beberapa hal kita sendiri bisa menjaminnya sesuai dengan perkataan Rasulullah Saw, "Jika kalian tidak memiliki rasa malu maka bertindaklah sesuka kalian."
Yang dimaksud hal-hal yang kita harus bisa menjaminnya adalah kemungkinan timbulnya fitnah. Mungkin kita bisa berdalih dengan mengatakan "Saya dengan dia cuma teman, hanya sebatas sharing ilmu." Tapi saya berpendapat sebaiknya dicari "aman" nya saja, karena fitnah itu diibaratkan mencemarkan dan menjatuhkan kehormatan seorang akhwat dan manjaga ’iffah / kehormatan itu wajib hukumnya.
Mubah hukumnya untuk berinteraksi dengan ikhwan dalam masalah ilmu, kareka khawatir seorang akhwat akan menceritakan sesuatu yang masuk dalam wilayah khas, sehingga yang mubah menjerumuskan ke haram.
Bagaimana dengan diskusi di forum internet atau milis? Menurut saya, dalam wilayah ini sifatnya lebih 'aam karena diketahui banyak orang pembahasannya pun seputar perkara yang dibolehkan. Dalam hal ini saya ingin mengutip perkataan Abu Bakar, "Berhati-hatilah dalam bertindak karena dari hati-hati tadi memberikan manfaat bagimu."
2.Hayatul khas
Hayatul khas atau kehidupan khusus adalah perkara seputar pribadi dan ini hanya boleh di ketahui oleh keluarga ‘mahram’ dan sesama kaum perempuan dalam lingkungan kita. Contohnya, menceritakan keadaan dirinya dan keluarganya, target hidup, target dakwah dll. secara detil, kecuali seorang akhwat sudah dikhitbah.
Seorang ikhwan yang faham akan apa arti kehormatan bagi seorang akhwat pasti maklum atas sikap tegasn seorang akhwat dan tidak dimaknai sebagai sikap jaim (jaga image) atau jutek, terlalu saklek atau apalah namanya. Tegas bukan berarti memaksa agar pandangannya di terima atau egois tapi demi menjaga kehormatan.
Intinya, dalam hal ini sangat dibutuhkan ketegasan dari masing-masing pihak, baik maupun akhwat untuk menjaga 'iffahnya masing-masing. Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya perkara halal itu jelas, dan perkara haram itu jelas; serta di antara keduanya terdapat perkara mutasyabihat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjauhi syubhat, sungguh ia telah terbebas dari dosa, dalam agama dan kehormatannya. sebaliknya, siapa yang terjerumus pada perkara syubhat berarti ia telah terjerumus dalam perkara haram," (HR. Imam Bukhari, Muslim dan ashabun Sunan)
Rabbanaghfirlanaa dzunuubanaa isyraafanaa fii amrina. Wallahu’alam.
Penulis: Shinta Mardhiah Alhimjarry, Bandung



sumber : Era Muslim.com

Kamis, 19 Januari 2012

"Ibarat kaca yang berdebu"

 
 
 
Dia ibarat kaca yang berdebu
jangan terlalu keras membersihkannya
Nanti ia mudah retak dan pecah...

Dia ibarat kaca yang berdebu
jangan terlalu lembut membersihkannya...
Nanti ia mudah keruh dan ternoda...

Ia bagai permata keindahan...
Sentuhlah hatinya dengan kelembutan
ia sehalus sutera di awan...
jagalah hatinya dengan kesabaran...

Lemah lembutlah kepadanya
namun jangan terlalau memanjakannya
Tegurlah bila ia bersalah
namun jangan lukai hatinya

bersabarlah bila menghadapinya
terimalah ia dengan keikhlasan
karna ia kaca yang berdebu
Semoga kau temukan dirinya...
BERCAHAYAKAN IMAN...


Syair di atas adalah salah satu syair yang dilantunkan oleh grup nasyid MAIDANI dimana mereka menyampaikan bagaimana hendaknya seorang laki-laki bersikap kepada wanita. Konteks disini adalah dalam kerangka suami-istri. Berbicara mengenai seorang wanita memang bisa dikatakan bicara dengan bahasa jiwa. Wanita dibuat dari tulang bengkok laki-laki ketika dibiarkan dia akan makin bengkok namun ketika ditarik dengan keras dia akan patah.

RASULULLAH adalah sosok pria yang ketika beliau dengan kesabaranya menghadapi banyak sikap dari para istri beliau. Beliau adalah seorang suami yang rela berdiri berjam-jam untuk menjadi sandaran istrinya( Aisyah) ketika ia ingin melihat suatu pertunjukan olah raga pedang para sahabat. padahal waktu itu usia beliau sudah masuk usia senja. Beliau juga tidak serta merta memarahi istrinya (Aisyah) ketika ia salah memasukkan sesuatu kedalam minuman Rasulullah , yang seharusnya ia masukkan gula namun GARAM yang tercampur didalamnya , namun dengan bijaknya beliau tersenyum dan berkata wahai Istriku minuman yang kau buat sangatlah nikmat, Aisyah pun menjawab benarkah Ya...Rasulullah?" kemudian Aisyah mencicipi minuman tersebut dan..Wajahnya memerah karena sangat malu juga khawatir kalau kalau Rasulullah marah. Namaun Rasulullah sudah dapat membaca kekhawatiran tersebut dan tersenyum pada istrinya dengan penuh sayang.

Begitulsh beliau, amat menghormati dan menyayangi istri- istrinya. Beliau amat paham bagaimana bersikap kepada seorang kaum hawa. Beliau ajarkan hal ini pada kerangka kehidupan berumah tangga.

Namun lain halnya ketika dalam kehidupan sehari-hari Allah dan RasulNya mengajarkan bagaimana bersikap terhadap seorang wanita ketika ia adalah tidak ada hubungannya dalam tali yang menghalalkan kaum hawa bagi kaum adam( bukan mahram). Wanita haruslah dihormati, dijaga, dan dihargai. Menjaganya dengan cara bagaimana ia agar tetap menjadi mutiara yang berkilau ditengah lumpur pekat. Menghormati ia dengan tidak mengatakan hal-hal yang dapat membuatnya lupa dengan apa yang menjadi perintah Allah dan RasulNya, menjaganya dengan mengingatkan ia akan hal - hal yang dapat membahayakan dirinya dengan santun dan baiak.

Wanita amat lemah dan mudah sekali goyah jika ia mendapatkan sebuah perhatian berlebih dari lawan jenisnya. Maka jangan biarkan ia mengharapkan itu dari seorang yang laki-laki yang memang belum berhak atas dirinya. Wanita amat lembut dan peka perasaanya maka jangan biarkan ia terbuai dengan kata- kata manis yang memang dapat melepas tabir hijabnya terhadap kaum adam yang belum berhak atas dirinya. wanita adalah makhluk yang mudah suka terhadap sesuatu namun jangan biarkan dia mudah mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya kepada orang yang belum berhak atas dirinya karna itu membuat ia tak lagi berizah.
Wahai kaum adam mulailah saat ini untuk menghormati, menghargai, dan menjaga wanita, janganlah kau biarkan ia menjadi tempatmu mengadu dan berkeluh kesah karna kaupaun akan lemah karnanya, jangan biarkan dirimu menjadikan ia sebagai wadah ajakan nafsu yang menyesatkan . Wanita amatlah lemah pendengaranya maka janganlah kau puji ia dengan kata- kata keduniaan, tapi pujilah ia dengan mengatakan ....BAHWA IA LEBIH BERHARGA DARI BIDADARI SYURGA KETIKA TAQWA MENJADI PERHIASANNYA & AMAL BAIK MENJADI KERJA KERASNYA.