Iffah, salah seorang teman baik saya, menitikkan air mata
ketika menyimak petuah-petuah Ilahi yang dikhutbahkan seorang ustadz. Hari itu
ia tengah menghadapi detik-detik bersejarah: ia segera disunting seorang pria
pilihannya. "Jadi misi besar pernikahan itu hakikatnya secara garis besar
ada dua. Pertama, memperbanyak keturunan atau regenerasi agar manusia secara
besama-sama mampu mengelola bumi sebagai nikmat besar yang diwariskan Allah SWT
kepada manusia. Yang kedua, misi pemeliharaan bumi dari tangan-tangan kotor
para kaum pendosa yang akan merusak warisanNya tersebut," petuah sang
Ustadz sembari ia mengutip surat
Annisa ayat satu.
Karena itu, lanjut sang Ustadz, regenerasi yang diinginkan
Al Quran, bukanlah sekadar berorientasi pada kuantitas. Tapi juga kualitas,
yakni lahirnya generasi-generasi taqwa. "Sebab, upaya-upaya manusia
mengeksploitasi bumi tidaklah akan memberikan kemanfaatan bagi sesama makhluk
Allah, kecuali tugas itu diserahkan orang-orang beriman, yakni para generasi
yang sholeh," serunya.
Boleh jadi sedikit sekali yang mau menyelami hakikat misi
agung yang ada di balik pernikahan. Misi mengelola dan memelihara bumi
sekaligus yang dipikulkan di atas pundak manusia, sebagaimana yang dikhutbahkan
sang Ustadz di atas, ternyata berkaitan erat dengan misi pernikahan.
Dalam pandangan masyarakat modern, pernikahan mungkin
dipandang tak lebih sebuah seremonial formal yang menandai berakhirnya masa
lajang seseorang. Atau lebih dari itu, pernikahan dianggap sebagai institusi di
mana dua insan berlainan jenis dinyatakan sah hidup bersama di dalamnya.
Bercumbu, memadu kasih, mengumpulkan harta, dan melakukan aktivitas apa saja,
sembari menyiapkan masa depan bagi anak-anak dan keturunan mereka. Sahkah asumsi
itu? Tentu, sah-sah saja bila ada yang berpandangan demikian.
Cetusan syahwat (nafsu) itu memang diakui oleh Al Qur'anul
Karim. "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa
yang diingini yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis
emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan
hidup di dunia. Dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (syurga)."
(QS 3 : 14).
Betul, siapa yang bisa menafikan betapa indahnya pernikahan?
Mendapat suami atau istri yang ganteng/cantik, pintar, serta berharta? Tentu
ini menjadi dambaan setiap manusia. Apalagi bila sebuah keluarga dikarunia
Allah keturunan yang ganteng/cantik serta mampu jadi orang terpandang pada masa
dewasanya. Pasti akan jadi kebanggaan setiap orang tua.
Tapi jika hanya sebatas itu pemahaman kita tentang misi
pernikahan, tentu tak sempurna. Sebab dikhawatirkan institusi keluarga hanya
berorientasi pada pemberdayaan anggota keluarga sendiri tanpa peduli pada
keadaan sosial masyarakat sekelilingnya. Antara satu keluarga dengan keluarga
yang lain tak memiliki aksi dan misi bersama. Sebaliknya, mereka hidup
nafsi-nafsi bahkan saling adu gengsi untuk bisa mempertontonkan apa-apa yang
bisa dibanggakan. Entah dari harta yang dimiliki, atau keturunan.
Inilah kehidupan egoistik dan individualistik yang sangat
mungkin lahir dari paradigma pernikahan yang tak sempurna. Hubungan antar
anggota masyarakat pun boleh jadi hanya basa-basi. Lewat klub-klub olahraga,
klub makan-siang, klub fitness, klub fans artis idola, arisan, dan lain
sebagainya yang kering dari misi sosial. Kehangatan dan keakraban yang tulus
pun tak tumbuh. Lantaran semua interaksi itu tidak didasari visi dan misi untuk
kebaikan bersama. Tapi tak lebih sekadar adu gengsi: pamer harta, pangkat,
kekuasaan dan jabatan.
Mungkin keadaan demikian yang disinyalir Al Quran Suci,
bahwa kelak manusia akan berlomba-lomba saling adu gengsi.
"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu
masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu. Kelak kamu akan mengetahui (akibat)
perbuatanmu itu. Dan janganlah begitu. Kelak kamu akan mengetahui. Janganlah
begitu. Jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu
benar-benar akan melihat neraka jahannam. Dan sesungguhnya kamu benar-benar
akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. Dan kemudian kamu pasti akan ditanya pada
hari itu tentang kenikmatan (yang kamu bermegah-megahan dengannya ketika di
dunia)" (QS 102 : 1-8).
Al Quran tak menafikan, pernikahan adalah institusi robbani
yang memang disediakan bagi dua insan berlainan jenis untuk menyalurkan hasrat
cinta dan kasih sayang antar sesama. Agar rumah tangga yang dibentuk itu
menjadi terminal yang aman dan nyaman serta memberi ketenangan lahir-batin bagi
seluruh anggota keluarga (QS 30:21). Tapi bukan semata-mata itu tujuan
pernikahan. Itu adalah misi antara.
Lebih dari itu, sebuah keluarga yang akan dibangun haruslah
dicita-citakan untuk tujuan yang lebih makro. Sebagai pabrik yang akan
memproduk generasi saleh. Agar mereka menjadi pengelola dan sekaligus penjaga
warisan Allah, yakni bumi yang amat luar biasa kandungan kekayaannya. Itulah
misi pertama dan utama bangunan pernikahan. Tak pelak bila Allah menyebut
pernikahan sebagai perjanjian agung (miitsaqon goliidzho) sebagaimana termaktub
di dalam KitabNya surat
Annisa ayat 21.
Sehingga pernikahan haruslah merupakan jembatan pertama bagi
para anggota keluarga mengenali lingkungan sosialnya. Lalu berinteraksi dengan
masyarakat lingkungannya, untuk selanjutnya bekerjasama dalam kebaikan. Antar
keluarga di dalam sebuah masyarakat, seyogyanya memiliki misi yang sama untuk
mencapai kebaikan bersama. Karena itu, keluarga satu dengan lainnya di mana pun
mereka berdominisili, haruslah memiliki link-link yang kokoh dalam kerangka
menata kehidupan sosial masyarakat lingkungannya.
Sebagai konsekuensi dari adanya kepentingan yang sama untuk
mencapai kemashlatan bersama itu, maka setiap penyimpangan yang dilakukan oleh
anggota keluarga siapapun, semua keluarga ikut bertanggungjawab mencarikan
solusinya. Agar keseimbangan dan keharmonisan kehidupan sosial dapat terus
dipelihara dan dipertahankan. Bila kesadaran bersama ini tumbuh kokoh, sangat
kecil kemungkinan timbul disharmoni hubungan masyarakat.
Wajar bila Islam memandang, bahwa keluarga adalah ibu
peradaban. Darinyalah lahir masyarakat, budaya, dan peradaban. Bagaimana wajah
sosial, budaya, dan peradaban sebuah komunitas atau bangsa, sesungguhnya
merupakan cerminan pemahaman masyarakat itu tentang keluarga.
Betapa sentral dan mendasarnya peran sebuah keluarga,
menjadi alasan kenapa Islam mengarahkan setiap pemeluknya berhati-hati dalam
mencari pasangan. Diharamkan seorang mukmin atau mukminat menikah dengan atau
dinikahi orang-orang musyrik. Karena pernikahan bukan sekadar pertemuan dua
jasad, dua hati, dan dua pemikiran. Tapi pernikahan hakikatnya, peristiwa
berlangsungnya koalisi dua kekuatan iman untuk mencapai cita-cita agung.
Karena itu Rasul mulia berpesan, "Wanita itu dinikahi
atas 4 hal. Karena hartanya, karena kecantikannya, karena keturunannya, dan
karena diennya. Maka ambillah wanita yang baik diennya. Pasti engkau akan
beruntung."
Tak berlebihan jika Fathi Yakan menyatakan dalam salah satu
bukunya, "Jika kehidupan suatu masyarakat carut-marut, pastilah sumber
permasalahannya adalah keluarga."
Boleh jadi kenapa Iffah kawan saya menitikkan air mata.
Mungkin ia baru menyadari bahwa pernikahan bukanlah sekadar hiasan kosmetik
kehidupan. Namun betapa agungnya misi yang diembannya. Walau itu tentunya
berat. Tapi sekali lagi, jangan takut menikah bagi mereka yang belum menikah.
Wallahu a'lam bish showab. (stn)