Label

Jumat, 23 Desember 2011

Mawaddah “Unlimit Love”


 
Kecintaan seorang suami kepada istrinya yang tetap setia bertahun-tahun hidup bersama, tanpa melihat fisik apakah al hubb atau mawaddah?

Kecintaan Rasulullah saw ketika mendakwahi umatnya yang susah diajak berpikir apakah al hubb atau mawaddah?

Ternyata kedalaman bahasa ‘arab memiliki makna luas dan bermakna.
Al hubb dan mawaddah ternyata sangat jauh berbeda.

Al hubb mencintai tanpa ada rasa tanggung jawab dan kotmitmen terhadap yang ia cintai.

Perceraian marak sekali terjadi, durhaka anak kepada ibunya, putusnya tali silahturahmi antara keluarga, saling bermusuhan antara tetangga satu dengan yang lain dll. Karena standarnya adalah cinta atas dasar maslahat sehingga berdampak akan mudah sekali hilang cintanya jika dia tidak menemukan mashlahat terhadap yang ia cintai.

Mawaddah adalah cinta yang unlimit atau tidak terbatas sampai kapanpun.

=Kecintaan Rasulullah saw ketika mendakwahi umatnya

=Kecintaan yang dimiliki oleh seorang ibu terhadap anaknya.
Cintanya seorang ibu akan hidup sampai kapanpun tidak terbatas tempat,waktu, dan usia anak

=Cintanya sepasang suami istri yang sudah hidup berpuluh-puluh tahun namun masih tetap cinta, masih tetap sayang, masih tetap akan merasa bahagia jika bersama, ada kerinduan yang besar ketika tidak bertemu walaupun usia sudah tua tapi rasa cinta seperti itu masih ada, walaupun dari fisik pasangannya mungkin sudah tidak enak dilihat lagi .

=Lebih menarik lagi kisah pada genarasi sahabat, kisah ini terjadi pada saat pemerintahan ‘Umar Amirul mukminin r.a. ada seorang arab badui yang akan mengadukan istrinya kepada ‘Umar karena istrinya telah mengeluarkan suara keras melebihi suaranya.

Iapun kemudian pergi ke rumah Amirul Mukminin ‘Umar bin Khatab r.a. dan ketika dia sampai di depan pintu rumah Amirul Mukminin dia mendengar langkah kaki ‘Umar yang hendak keluar dari rumahnya. Dia mendengar istri Amirul Mukminin berkata kepadanya dengan suara yang keras mengatakan: “bertaqwalah kepada Allah, wahai ‘Umar atas apa yang engkau pimpin!”

‘Umar hanya diam dan tidak berbicara sedikitpun, orang badui tersebut berbicara dalam hatinya seraya berpaling pergi: “Jika keadaan Amirul Mukminin saja seperti ini, maka bagaimana dengan diriku?” Ketika ia hendak berpaling pergi, ternyata ‘Umar bin khatab telah keluar dan melihatnya. ‘Umar bertanya apa keperluanmu?, wahai saudaraku orang Arab?”

Orang arab badui itupun menjawab: “Wahai Amirul Mukminin sebenarnya aku ingin menemuimu untuk mengadukan sikap istriku. Dia telah berani bersuara keras terhadap diriku. Namun seketika aku melihat keadaan rumahmu, aku menjadi merasa kerdil, karena apa yang engkau hadapi lebih sulit daripada apa yang aku hadapi. Oleh karena itu, aku hendak pulang dan berkata pada diriku sendiri: “Jika Amirul Mukminin saja mendapat perlakuan seperti itu dari istrinya, maka bagaimana dengan diriku?”

‘Umar pun terseyum dan berkata: “Wahai saudaraku semuslim, aku menahan diri dari sikapnya (istriku) itu, karena dia memiliki hak-hak atas diriku. Aku berusaha untuk menahan diri meski sebenarnya aku bisa saja menyakitinya (bersikap keras) dan memarahinya. Akan tetapi, aku sadar bahwa tidak ada yang dapat memuliakan wanita selain orang yang mulia dan tidak ada orang yang merendahkan selain orang yang suka menyakiti. Mereka dapat mengalahkan setiap orang yang mulia namun mereka dapat dikalahkan oleh setiap orang yang suka menyakiti. Akan tetapi, aku angat ingin menjadi orang yang mulia meski aku kalah (dari istriku), dan aku tidak ingin menjadi orang yang suka menyakiti meski aku termasuk orang yang menang.”

‘Umar melanjutkan : “Wahai saudaraku orang Arab, aku berusaha menahan diri karena dia istriku memiliki hak-hak atas diriku. Dialah yang memasak makanan untukku, membuatkan roti untukku, menyusui anak-anakku, dan mencuci baju-bajuku. Sebesar apa kesabaranku terhadap sikapnya, maka sebanyak itulah pahala yang aku terima.”
Saya suka sekali membaca kisah yang penuh makna ini berkali-kali,bahkan mengikuti bedah bukunya tentang kecintaan Umar sang khalifah terhadap istrinya.

Apa yang membuat seorang Umar bin Khattab yang disegani kawan maupun lawan berdiam diri saat istrinya ngomel? Mengapa dia hanya mendengarkan, padahal di luar sana, dia selalu tegas kepada siapa pun?

Saat Umar diam mendengarkan keluhan istrinya, ternyata dia sedang mencoba berempati kepada istrinya, “Mungkin dia capek, mungkin dia jenuh dengan segala beban rumah tangga di pundaknya.” ungkapnya.

Setidaknya, seorang istri telah berperan besar dalam empat hal, istri telah berusaha membentengi suami dari api neraka (saat godaan syahwat menghampiri), memelihara harta suami saat suami tidak berada di rumah, menjaga penampilan suami, mengasuh anak-anak, dan menyediakan hidangan untuk keluarganya.

Untuk segala kemurahan hati sang istri itulah, Umar rela mendengarkan keluh kesah buah lelah istrinya. Umar lebih memililih untuk mengingat kebaikan-kebaikan istrinya daripada mencela kekurangannya. Bila istri sudah puas menumpahkan kata-katanya, barulah dia menasehati dengan cara yang baik, kadang malah dengan bercanda sehingga terhindar dari caci maki yang takterpuji.

Tidak tepikirkan oleh saya, bagaimana perhatian negara Islam yang begitu besar untuk mengurusi umatnya termasuk masalah rumah tangga, luar biasa. Disisi lain, sikap seorang pemimpin besar semisal ‘Umar yang kalau kita ketahui sifat ‘Umar adalah keras dan kasar, tapi bisa menahan diri dari bersikap kasar dan lebih memilih bersikap lembut kepada istrinya yang beliau cintai. Itulah cinta mawaddah ‘Umar kepada istrinya.

satu kutipan dr Al Qur'an=
�dan pergaulilah mereka dengan cara yang patut kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak� {An-Nisaa:19}.

Semoga kecintaan kita selalu dilandasi keimanan kepada Allah ‘azza wa jalla
Dan merupakan cinta= Mawaddah=“Unlimit Love”
Semoga bermanpaat,dan anda tinggal menilai apakah cinta anda termasuk
al hubb atau mawaddah?....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar